Gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit. Kalimat sederhana
yang pernah dilontarkan Bung Karno itu melekat dalam benak Susi Pudjiastuti
sejak kecil.
Susi, perempuan Jawa yang lahir di Pangandaran, Jawa Barat, pada 15 Januari
1965 ini merajut cita-citanya dengan kerja keras diiringi doa. Susi Air,
maskapai penerbangan Indonesia yang dioperasikan oleh PT ASI Pujiastuti
Aviation adalah impian semasa kecil yang kemudian berhasil direalisasikannya.
Putri sulung dari tiga bersaudara pasangan H. Ahmad Karlan dan Hj. Suwuh
Lasminah ini dibesarkan dalam keluarga yang berkecukupan. Kedua orangtua yang
asli Jawa Tengah sudah lima generasi lahir dan hidup di Pangandaran. Menurut
cerita, kakek buyutnya, H Ireng, adalah seorang saudagar sapi dan kerbau, yang
membawa ratusan ternak dari Jawa Tengah untuk diperdagangkan di Jawa Barat.
Sebagai keturunan H Ireng, ayah Susi, H Karlan, juga termasuk tuan tanah di
kampungnya. Tanahnya banyak, antara lain kolam-kolam ikan dan kebun kelapa
untuk dipanen dan dijual kopranya. Sang ayah juga mengusahakan beberapa buah
perahu untuk para nelayan mencari ikan dengan sistem bagi hasil.
Puluhan tahun lalu, Pangandaran belum seperti saat ini, daerah pesisir itu masih
sepi pengunjung karena banyak potensinya yang belum digali secara maksimal. Tak
heran, di hari Sabtu-Minggu atau hari libur pun jarang sekali ada wisatawan
yang datang. Karena itu, meski terlahir dari keluarga berada, pergaulan Susi
layaknya anak-anak kampung seusianya. Demikian halnya untuk urusan pendidikan,
meski memiliki materi berlebih, orangtuanya mengirimkan Susi untuk bersekolah
di sekolah negeri yang kondisi bangunannya amat sederhana, setengah tembok dan
selebihnya berdinding bilik bambu berlantai tanah. Susi mengenyam pendidikan SD
hingga SMP di Pangandaran.
Pada tahun 1980 setelah tamat SMP, ia meninggalkan kota kelahirannya itu
dan pindah ke Yogyakarta demi meneruskan sekolahnya di SMA Negeri 1 Yogyakarta.
Sayang, pendidikannya harus terhenti di kelas dua. Kegagalannya itu bukan
karena ia malas belajar sebab perempuan berambut ikal ini amat suka belajar dan
membaca buku-buku teks berbahasa Inggris.
Saat itu, ia mengisahkan tentang bagaimana suatu kali ia tergelincir di
tangga, lalu tubuhnya menggelinding ke bawah dan baru berhenti ketika kepalanya
terbentur tembok dinding sekolahnya. Susi sampai harus terbaring di
tempat kosnya selama beberapa hari. Sakit berkepanjangan membuat orang tuanya
memintanya kembali ke Pangandaran, sampai akhirnya ia memutuskan untuk tidak
balik lagi ke sekolah. Alasannya sederhana, ia tidak mau diatur. Ibu dan
bapaknya tentu menyesalkan keputusan putri sulungnya itu. Tetapi,
dipikir-pikir lagi, bisa jadi itu memang jalan hidup yang harus ia jalani. Kalau
saja ia meneruskan sekolah, lulus SMA, lalu kuliah di perguruan tinggi,
pastilah cerita hidupnya akan berbeda.
Saat usianya baru menginjak 17 tahun, Susi mencoba berwirausaha. Instingnya
pun tajam melihat potensi alam Pangandaran, pesisir pantai yang saat itu mulai
menggeliat sebagai daerah tujuan wisata yang ditandai dengan menjamurnya
hotel-hotel. Peluang itu dimanfaatkan Susi dengan berjualan bed cover dan
sarung bantal dan menawarkannya ke hotel-hotel yang ada. Meski awalnya ia
mengaku sulit meyakinkan pemilik hotel untuk membeli dagangannya, Susi tak
patah semangat.
Sebenarnya, Susi tak harus bersusah payah berkeliing dari hotel ke hotel
lainnya hanya untuk menawarkan barang dagangan. Kalaupun ia tak bekerja, ia
masih bisa makan enak di rumah orang tuanya. Akan tetapi, Susi sadar ia tak
bisa terus-menerus menggantungkan hidupnya pada orang tua. "Hewan saja
mengajarkan pada kita, bahwa setelah dewasa ia tak lagi menyusu, dan mencari
makannya sendiri. Apalagi kita, manusia, yang diberi akal," kata Susi seperti
dikutip dari situs femina online.
Itulah mengapa ia bertekad, mengandalkan kemampuannya untuk berbuat
sesuatu, mencari nafkah demi masa depan. Belakangan, usaha dagang
keliling menjual bed cover ia tinggalkan lantaran mulai mencium peluang bisnis yang
lebih menguntungkan dari dunia maritim yang terbentang di sekitarnya.
Pangandaran adalah tempat pendaratan ikan yang amat potensial di pesisir
selatan Pulau Jawa. Setiap hari ratusan nelayan mendaratkan perahu-perahunya di
pantai itu, dengan hasil tangkapan yang melimpah. Tahun 1983, Susi yang semasa
kecil pernah bercita-cita menjadi ahli oceanologi ini lantas beralih profesi
menjadi bakul ikan, sebutan untuk para wanita pengepul hasil laut tangkapan
nelayan di Pangandaran.
Dengan modal Rp 750 ribu, uang yang didapatnya dari hasil penjualan gelang
keroncong, kalung, dan cincin miliknya, Susi mulai menjalani hari-harinya
sebagai bakul ikan. Setiap pagi di jam-jam tertentu, ia dan kawan-kawan
seprofesi berkerumun di TPI (tempat pelelangan ikan), menjadi peserta lelang.
Tugasnya hanya perlu menaksir dengan cepat berapa harga jual ikan-ikan di
keranjang yang sedang ditawarkan juru lelang, memperkirakan kepada siapa
ikan-ikan itu akan dijual, dan dengan cepat memutuskan untuk membeli ikan-ikan
yang dilelang itu.
Di usianya yang masih muda, tentu tak mudah menjalani profesi barunya itu.
Di hari pertama misalnya, ia cuma berhasil mendapatkan 1 kilogram ikan saja,
pesanan sebuah resto kecil kenalannya. Keesokan harinya, setelah mulai dapat
meyakinkan calon pembeli, ikan yang didapat lebih besar lagi jumlahnya. Tiga
kilo, tujuh kilo, begitu seterusnya. Tak jarang, ia juga salah taksir hingga
merugi saat ikan-ikan yang dibelinya harus dijual lagi. Belum lagi jika ada
pemesan yang ingkar, alias tak jadi membeli ikan dari bakul Susi. Baginya semua
itu dinamika kerja, yang lazim terjadi di semua bidang pekerjaan.
Mentalnya yang tak gampang loyo membuat Susi hanya butuh waktu setahun
untuk menguasai pasar Pangandaran. Ekspansinya terus melebar ke pasar Cilacap yang
bisa ditempuh dalam tempo tiga jam bermobil dari Pangandaran. Sukses sebagai
bakul ikan memacu semangat Susi untuk terus mengembangkan kemampuan bisnisnya.
Uang hasil jerih payahnya sebagai bakul ikan kemudian digunakan sebagai modal
untuk membeli perahu yang kemudian disewakan ke para nelayan.
Kini, dari satu dua, sudah berkembang menjadi ratusan perahu di Pangandaran
dan Cilacap yang diakui nelayan sebagai ‘punya Ibu Susi’. Ikan-ikan hasil
tangkapan nelayan tadi kemudian ia beli dengan harga yang pantas. Menurut
Susi, produksi ikan di Pangandaran amat melimpah namun tak sebanding dengan
daya serap masyarakat sekitar. Tiap hari ada saja ikan segar yang tak terserap
pasar. Kalau sudah begitu, para pedagang mengolahnya menjadi ikan awetan, sebagai
ikan kering ataupun ikan asin. Padahal harga jual ikan segar jauh lebih mahal
dibanding ikan awetan.
Saat itulah Susi mendapat ide untuk membuka pasar di luar Pangandaran dan
kota besar di sekitarnya. Kota yang menjadi sasarannya bukan Bandung, Ciamis
ataupun Tasikmalaya, melainkan Jakarta. Menurut perkiraannya, penduduk ibukota
memerlukan pasokan banyak ikan. Puluhan ton ikan segar tiap hari masuk ke
Jakarta dan selalu terserap habis. "Intinya, ya harus segar," ucap
Susi, yang cuma beberapa bulan saja jadi bakul ikan, untuk kemudian meningkat
jadi pengepul besar hasil laut.
Mulailah ia memutar otak bagaimana membawa hasil laut yang dikumpulkannya,
bagaimana hasil tangkapan nelayan yang menyewa perahu-perahunya, bisa sampai ke
pasar dalam keadaan segar. Sementara, jarak pasar besar berpuluh bahkan beratus
kilometer dari Pangandaran. Untuk menjaga kesegaran, maka ia harus bisa berpacu
dengan waktu. Solusinya, ia mulai mengusahakan mobil untuk mengangkut ikan ke
Jakarta.
Dari yang awalnya menyewa, Susi akhirnya mampu membeli truk dengan sistem
pendingin es batu. Bahkan kemudian ia dipercaya oleh beberapa pabrik sebagai
pemasok tetap ikan segar untuk ekspor. Selama bertahun-tahun, Susi bolak
balik Pangandaran-Jakarta untuk membawa ikan dagangannya. Waktu berjam-jam di
dalam mobil, tak sekadar dimanfaatkannya untuk beristirahat, tetapi juga terus
berpikir untuk mengembangkan usahanya hingga berhasil menemukan peluang bisnis
baru yakni menjual kodok. Kodok hidup tak hanya laris di pasar Glodok, bahkan
bisa diekspor ke Singapura dan Hong Kong.
Dalam perjalanan Pangandaran-Jakarta pun, ia tak pernah lupa mampir ke
sentra-sentra pengepul kodok yang terdapat di sepanjang jalan Cikampek hingga
Karawang. Kodok-kodok itu kemudian dibawanya ke beberapa pasar di Jakarta. Tak
heran bila di tempat-tempat itu, ia sempat mendapat julukan ‘Susi Kodok’!
Kemauan untuk terus maju dan menjadi yang terbaik membuat Susi jeli
melihat peluang bisnis. Ia seakan tak pernah kehabisan akal untuk mengembangkan
bisnis yang dibangunnya dari nol itu.
Setelah sukses sebagai pemasok ikan, pada tahun 1996, Susi mendirikan
pabrik pengolahan ikan dengan label Susi brand di bawah naungan PT ASI
Pudjiastuti Marine Product. Demi kenyamanan para karyawannya, pabrik tersebut
dibangun layaknya mall, penuh dengan keramik dan kaca, meski untuk itu ia harus
menggelontorkan biaya investasi yang tak sedikit. Hasil laut seperti
kakap, ekor kuning, bawal, kerapu, marlin, hingga lobster merupakan produk
andalan pabriknya. Dari sekian banyak produknya, lobster masih menjadi
primadona. Permintaan pasar akan udang besar yang biasa hidup di perairan
pantai berkarang ini terbilang cukup tinggi. Sayangnya, hasil tangkapan nelayan
relatif sedikit.
Bagi Susi, kendala itu justru merupakan sebuah tantangan. Demi berburu
lobster, ia pun berkelana ke berbagai tempat pendaratan ikan. Nyaris semua
pantai sepi di pesisir selatan Pulau Jawa ia telusuri. Walau berusaha
memenuhi permintaan pasar, Susi bukan tipe pengusaha serakah dan menghalalkan
segala cara. Demi menjaga populasi dan kualitas lobster-lobster yang akan
dijualnya, ikan itu harus ditangkap secara alami, tidak menggunakan cara yang
merusak lingkungan, misalnya dengan membongkar karang atau menggunakan
pestisida. Satu hal lagi, Susi juga tidak menerima lobster yang sedang
bertelur. Kalau tak sengaja mendapatkan lobster yang sedang masa bertelur, ia
meminta segera cepat dikembalikan ke laut.
Ratusan tenaga kerja lokal dipekerjakan untuk menyiangi ikan. Limbah berupa
tulang dan isi perut dipisahkan, dicacah atau digiling, untuk pakan itik di
kebunnya, sementara bagian dagingnya dibuat filet atau produk turunan lainnya.
Hanya dalam tempo setahun setelah ia mengekspor lobster beku, ragam jenis
seafood beku dari pabrik Pangandaran itu diekspor ke Jepang dengan label Susi
Brand. Menembus pasar Jepang memang sebuah prestasi. Mengingat Jepang
merupakan pangsa pasar ikan segar terbesar di Asia, yang menerapkan aturan
ketat untuk produk yang masuk ke negaranya. Oleh karena itu, demi menjaga
kualitas, pengolahan ikan di pabriknya dikerjakan sesuai standar internasional
termasuk tidak memakai bahan pengawet kimia. Susi sadar, semakin murni ikan itu
dari bahan pengawet, semakin banyak diburu penggemarnya. Pendinginnya pun ramah
lingkungan karena menggunakan amoniak, bukan freon yang merusak ozon.
Dalam mengembangkan usahanya, Susi juga menerapkan filosofi palugada (apa
lu mau, gua ada). Sebisa mungkin ia berusaha memenuhi segala permintaan
pemesan. Yang terpenting, ia tetap memegang prinsip, "Cari dan siapkan
barang yang bagus, maka pembeli akan senang. Keuntungannya, harga jual bisa
lebih bagus!" ungkapnya.
Selain ikan dan kodok, Susi juga memasok sarang burung walet yang
diambilnya dari para pemanen di gua-gua laut yang banyak terdapat di pesisir
pantai selatan Pulau Jawa. Diversifikasi usaha pun terus dilakukan Susi.
Misalnya dengan membuka restoran Hilmans di dekat pantai Pangandaran dengan
spesialisasi menu ikan segar. Restoran yang berdiri tahun 1989 itu memanjakan
calon pembelinya karena bisa memilih sendiri ikan segar yang diminatinya lalu
para koki mengolahnya menjadi hidangan bercita rasa istimewa.
Kesuksesan Susi sebagai pebisnis tak dibarengi dengan kesuksesannya di
dalam kehidupan rumah tangga. Sebelum akhirnya hidup bahagia dengan suaminya
saat ini, Christian von Strowberg, ia telah mengalami dua kali kegagalan
perkawinan. Pernikahan pertamanya terjadi di tahun 1983 saat usianya masih
belasan tahun dengan seorang teman sekampungnya dan membuahkan satu orang putra
bernama Panji Hilmansyah. Panji kini telah menikah dan memiliki seorang anak
Arman Hilmansyah. Sang cucu ini selalu menemani Susi ke mana pun ia pergi dan
menyapanya dengan panggilan Uti (penggalan dari kata Mbah Puteri).
Setelah bercerai dengan ayah Panji, Susi menikah dengan seorang pria asal
Swiss. Dari perkawinan itu, Susi dikaruniai seorang putri bernama Nadine
Pascale. Kehidupan rumah tangga yang lebih langgeng baru dialaminya
setelah dipinang Christian von Strowberg. Susi pertama kali bertemu dengan pria
yang usianya lebih muda 9 tahun itu saat Christian berkunjung ke restoran
seafood miliknya. Pria Jerman yang fasih berbahasa Indonesia itu bekerja
sebagai engineer dan pilot di Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) di
Bandung. Pernikahan yang telah membuahkan seorang anak bernama Alvi Xavier itu
masih awet bertahan hingga saat ini. Christian pulalah yang mewujudkan impian
Susi semasa kecil untuk memiliki pesawat terbang.
Impian memiliki pesawat terbang kian kuat lantaran bisnis perikanannya yang
kian berkembang tak hanya di Indonesia bahkan mulai merambah ke Asia dan
Amerika. Setelah proposal pengajuan kreditnya berkali-kali ditolak bank, pada
tahun 2004, Susi akhirnya bisa tersenyum setelah Bank Mandiri menggelontorkan
dana sebesar 4,7 juta US dollar. Dengan dukungan Christian yang paham
seluk-beluk kedirgantaraan, impiannya untuk memiliki pesawat terbang pun
terwujud berupa sebuah Cessna Caravan buatan USA seharga Rp20 miliar.
Pesawat berkapasitas 12 seats itu ia gunakan untuk mengangkut ikan dan
lobster tangkapan nelayan di berbagai pantai Indonesia untuk selanjutnya diterbangkan
ke pasar Jakarta. Sebagai penekun usaha hasil laut, ia memahami betul bahwa
kadar kesegaran suatu hasil laut menentukan nilai jual. Misalnya, ikan atau
udang yang sudah sampai di Jepang dalam waktu kurang dari 24 jam akan bisa
dihargai dua kali lipat lebih mahal. Misalnya, ikan laut yang dihargai US$3/kg
bisa dijual US$8/kg apabila diantar kurang dari 24 jam.
Untuk bisa menjamin nilai fresh pasokannya, ia pun membangun armada pesawat
kargo sendiri dengan jalur domestik dan internasional. Ia menamakan armada
udaranya ini, Susi Air yang berada di bawah naungan PT ASI Pudjiastuti
Aviation.
Pada 26 Desember 2004, gempa tektonik yang berujung gelombang tsunami
melanda Pulau Sumatera. Kerusakan yang amat parah membuat medan sulit ditembus.
Aliran bantuan pun tersendat, makanan, tenda, obat-obatan menumpuk di Bandara
Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Namun dua hari setelah bencana, Susi
didampingi suami berhasil mendaratkan Cessna-nya di Meulaboh dan langsung mendistribusikan
bantuan kepada para korban yang berada di daerah terisolasi. Dari
peristiwa inilah, skenario bisnisnya berubah.
Terlebih pasca tsunami, kinerja bisnis perikanannya terus merosot, omsetnya
bahkan turun hingga Rp 10 miliar/bulan. Di sisi lain, ia melihat kebutuhan
terhadap pesawat di Aceh begitu besar. Belakangan, pesawat yang tadinya hanya
untuk mengangkut barang dagangan laut, dia coba sewakan kepada masyarakat yang
ingin menumpang. Setelah dua minggu misi kemanusiaan selesai, pesawat tak bisa
dibawa pulang. Hingga akhirnya pada 2005, ia mendatangkan satu pesawat lagi,
juga jenis Cessna Caravan.
Setahun kemudian, pesawat tersebut pindah ke Jayapura, sebagai bagian dari
langkah pembukaan cabang Susi Air di sana. Tahun demi tahun armada pesawat
terbang milik Susi pun terus bertambah. Selama kurun bulan Oktober-Desember
2007, ia berhasil membeli 6 pesawat (4 Cessna Caravan and 2 Pilatus
Porter).
Pada Juni 2009, Susi Air mengumumkan bahwa mereka telah memesan 30 pesawat
Grand Caravan di Paris Air Show. Bulan berikutnya, Piaggio Avanti pertama Susi
Air mulai digunakan. Sejak itu, Susi Air terus mengepakkan sayapnya dengan
membuka kantor cabang di berbagai daerah di Tanah Air. Sebanyak 15
pesawat melayani jasa carteran dan 7 rute penerbangan komuter antara lain, di
Sumatera, dari Medan ke Simeuleu, Medan-Meulaboh, Medan-Aek Godang dan
Medan-Blang Pidie. Lalu, di Kalimantan, Susie Air melayani rute
Banjarmasin-Muara Teweh, Muara Teweh-Palangkaraya dan Balikpapan-Sebuku.
Setelah bisnis maskapai penerbangan, tahun 2008 di bawah manajemen PT ASI
Pudjiastuti Flying School, Susi mendirikan sekolah penerbang dengan nama Susi
Flying School, dan bertindak sebagai direktur utamanya. Kesuksesan Susi
membangun kerajaan bisnis mendapat pengakuan dari berbagai kalangan. Setidaknya
hal tersebut dapat dilihat dari sederet penghargaan yang diraihnya seperti
Pelopor Wisata dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, Young
Entrepreneur of the Year dari Ernst and Young Indonesia, Primaniyarta Award for
Best Small & Medium Enterprise Exporter dari Presiden Republik Indonesia,
Inspiring Woman Award for Economics dari Metro TV, Ganesa Wdiya Jasa Adiutama
dari ITB.
Ibu tiga anak ini juga aktif di berbagai bidang antara lain sebagai aktivis
lingkungan independen, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, serta Ketua Komisi
Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah di KADIN. Susi juga dipercaya sebagai
dosen tamu di ITB, IPB, dan UGM, serta pada program pendidikan di lingkungan
BRI dan Telkom. Impian masa kecilnya memang telah terwujud, namun
kebahagiaan bukan datang dari puluhan pesawat yang berhasil dimilikinya
melainkan ketika ia bisa memberikan kebahagiaan bagi orang lain. Saat pensiun
nanti, Susi ingin mengikuti jejak neneknya, yakni mengabdikan dirinya penuh pada
Tuhan, tinggal di masjid yang dibangunnya sendiri, dan membantu masyarakat
sekitar.
sumber http://sukses-kerja-usaha.blogspot.com/
Lihat juga :
Ada yang tertarik bisnis ikan segar....?
ReplyDelete