Sunday, October 13, 2013

Bakul Ikan Lulusan SMP, yang Sukses Usaha Airline SUSI AIR

Gantungkanlah cita-citamu setinggi bintang di langit. Kalimat sederhana yang pernah dilontarkan Bung Karno itu melekat dalam benak Susi Pudjiastuti sejak kecil.

Susi, perempuan Jawa yang lahir di Pangandaran, Jawa Barat, pada 15 Januari 1965 ini merajut cita-citanya dengan kerja keras diiringi doa. Susi Air, maskapai penerbangan Indonesia yang dioperasikan oleh PT ASI Pujiastuti Aviation adalah impian semasa kecil yang kemudian berhasil direalisasikannya.  

Putri sulung dari tiga bersaudara pasangan H. Ahmad Karlan dan Hj. Suwuh Lasminah ini dibesarkan dalam keluarga yang berkecukupan. Kedua orangtua yang asli Jawa Tengah sudah lima generasi lahir dan hidup di Pangandaran. Menurut cerita, kakek buyutnya, H Ireng, adalah seorang saudagar sapi dan kerbau, yang membawa ratusan ternak dari Jawa Tengah untuk diperdagangkan di Jawa Barat. Sebagai keturunan H Ireng, ayah Susi, H Karlan, juga termasuk tuan tanah di kampungnya. Tanahnya banyak, antara lain kolam-kolam ikan dan kebun kelapa untuk dipanen dan dijual kopranya. Sang ayah juga mengusahakan beberapa buah perahu untuk para nelayan mencari ikan dengan sistem bagi hasil.  

Puluhan tahun lalu, Pangandaran belum seperti saat ini, daerah pesisir itu masih sepi pengunjung karena banyak potensinya yang belum digali secara maksimal. Tak heran, di hari Sabtu-Minggu atau hari libur pun jarang sekali ada wisatawan yang datang. Karena itu, meski terlahir dari keluarga berada, pergaulan Susi layaknya anak-anak kampung seusianya. Demikian halnya untuk urusan pendidikan, meski memiliki materi berlebih, orangtuanya mengirimkan Susi untuk bersekolah di sekolah negeri yang kondisi bangunannya amat sederhana, setengah tembok dan selebihnya berdinding bilik bambu berlantai tanah. Susi mengenyam pendidikan SD hingga SMP di Pangandaran.  

Pada tahun 1980 setelah tamat SMP, ia meninggalkan kota kelahirannya itu dan pindah ke Yogyakarta demi meneruskan sekolahnya di SMA Negeri 1 Yogyakarta. Sayang, pendidikannya harus terhenti di kelas dua. Kegagalannya itu bukan karena ia malas belajar sebab perempuan berambut ikal ini amat suka belajar dan membaca buku-buku teks berbahasa Inggris. 

Saat itu, ia mengisahkan tentang bagaimana suatu kali ia tergelincir di tangga, lalu tubuhnya menggelinding ke bawah dan baru berhenti ketika kepalanya terbentur tembok dinding sekolahnya.  Susi sampai harus terbaring di tempat kosnya selama beberapa hari. Sakit berkepanjangan membuat orang tuanya memintanya kembali ke Pangandaran, sampai akhirnya ia memutuskan untuk tidak balik lagi ke sekolah. Alasannya sederhana, ia tidak mau diatur. Ibu dan bapaknya tentu menyesalkan keputusan putri sulungnya itu. Tetapi, dipikir-pikir lagi, bisa jadi itu memang jalan hidup yang harus ia jalani. Kalau saja ia meneruskan sekolah, lulus SMA, lalu kuliah di perguruan tinggi, pastilah cerita hidupnya akan berbeda.  

Saat usianya baru menginjak 17 tahun, Susi mencoba berwirausaha. Instingnya pun tajam melihat potensi alam Pangandaran, pesisir pantai yang saat itu mulai menggeliat sebagai daerah tujuan wisata yang ditandai dengan menjamurnya hotel-hotel. Peluang itu dimanfaatkan Susi dengan berjualan bed cover dan sarung bantal dan menawarkannya ke hotel-hotel yang ada. Meski awalnya ia mengaku sulit meyakinkan pemilik hotel untuk membeli dagangannya, Susi tak patah semangat. 

Sebenarnya, Susi tak harus bersusah payah berkeliing dari hotel ke hotel lainnya hanya untuk menawarkan barang dagangan. Kalaupun ia tak bekerja, ia masih bisa makan enak di rumah orang tuanya. Akan tetapi, Susi sadar ia tak bisa terus-menerus menggantungkan hidupnya pada orang tua. "Hewan saja mengajarkan pada kita, bahwa setelah dewasa ia tak lagi menyusu, dan mencari makannya sendiri. Apalagi kita, manusia, yang diberi akal," kata Susi seperti dikutip dari situs femina online. 

Itulah mengapa ia bertekad, mengandalkan kemampuannya untuk berbuat sesuatu, mencari nafkah demi masa depan.  Belakangan, usaha dagang keliling menjual bed cover ia tinggalkan lantaran mulai mencium peluang bisnis yang lebih menguntungkan dari dunia maritim yang terbentang di sekitarnya. 

Pangandaran adalah tempat pendaratan ikan yang amat potensial di pesisir selatan Pulau Jawa. Setiap hari ratusan nelayan mendaratkan perahu-perahunya di pantai itu, dengan hasil tangkapan yang melimpah. Tahun 1983, Susi yang semasa kecil pernah bercita-cita menjadi ahli oceanologi ini lantas beralih profesi menjadi bakul ikan, sebutan untuk para wanita pengepul hasil laut tangkapan nelayan di Pangandaran.  

Dengan modal Rp 750 ribu, uang yang didapatnya dari hasil penjualan gelang keroncong, kalung, dan cincin miliknya, Susi mulai menjalani hari-harinya sebagai bakul ikan. Setiap pagi di jam-jam tertentu, ia dan kawan-kawan seprofesi berkerumun di TPI (tempat pelelangan ikan), menjadi peserta lelang. Tugasnya hanya perlu menaksir dengan cepat berapa harga jual ikan-ikan di keranjang yang sedang ditawarkan juru lelang, memperkirakan kepada siapa ikan-ikan itu akan dijual, dan dengan cepat memutuskan untuk membeli ikan-ikan yang dilelang itu.  

Di usianya yang masih muda, tentu tak mudah menjalani profesi barunya itu. Di hari pertama misalnya, ia cuma berhasil mendapatkan 1 kilogram ikan saja, pesanan sebuah resto kecil kenalannya. Keesokan harinya, setelah mulai dapat meyakinkan calon pembeli, ikan yang didapat lebih besar lagi jumlahnya. Tiga kilo, tujuh kilo, begitu seterusnya. Tak jarang, ia juga salah taksir hingga merugi saat ikan-ikan yang dibelinya harus dijual lagi. Belum lagi jika ada pemesan yang ingkar, alias tak jadi membeli ikan dari bakul Susi. Baginya semua itu dinamika kerja, yang lazim terjadi di semua bidang pekerjaan.

Mentalnya yang tak gampang loyo membuat Susi hanya butuh waktu setahun untuk menguasai pasar Pangandaran. Ekspansinya terus melebar ke pasar Cilacap yang bisa ditempuh dalam tempo tiga jam bermobil dari Pangandaran. Sukses sebagai bakul ikan memacu semangat Susi untuk terus mengembangkan kemampuan bisnisnya. Uang hasil jerih payahnya sebagai bakul ikan kemudian digunakan sebagai modal untuk membeli perahu yang kemudian disewakan ke para nelayan. 

Kini, dari satu dua, sudah berkembang menjadi ratusan perahu di Pangandaran dan Cilacap yang diakui nelayan sebagai ‘punya Ibu Susi’. Ikan-ikan hasil tangkapan nelayan tadi kemudian ia beli dengan harga yang pantas.  Menurut Susi, produksi ikan di Pangandaran amat melimpah namun tak sebanding dengan daya serap masyarakat sekitar. Tiap hari ada saja ikan segar yang tak terserap pasar. Kalau sudah begitu, para pedagang mengolahnya menjadi ikan awetan, sebagai ikan kering ataupun ikan asin. Padahal harga jual ikan segar jauh lebih mahal dibanding ikan awetan. 

Saat itulah Susi mendapat ide untuk membuka pasar di luar Pangandaran dan kota besar di sekitarnya. Kota yang menjadi sasarannya bukan Bandung, Ciamis ataupun Tasikmalaya, melainkan Jakarta. Menurut perkiraannya, penduduk ibukota memerlukan pasokan banyak ikan. Puluhan ton ikan segar tiap hari masuk ke Jakarta dan selalu terserap habis. "Intinya, ya harus segar," ucap Susi, yang cuma beberapa bulan saja jadi bakul ikan, untuk kemudian meningkat jadi pengepul besar hasil laut. 

Mulailah ia memutar otak bagaimana membawa hasil laut yang dikumpulkannya, bagaimana hasil tangkapan nelayan yang menyewa perahu-perahunya, bisa sampai ke pasar dalam keadaan segar. Sementara, jarak pasar besar berpuluh bahkan beratus kilometer dari Pangandaran. Untuk menjaga kesegaran, maka ia harus bisa berpacu dengan waktu. Solusinya, ia mulai mengusahakan mobil untuk mengangkut ikan ke Jakarta. 

Dari yang awalnya menyewa, Susi akhirnya mampu membeli truk dengan sistem pendingin es batu. Bahkan kemudian ia dipercaya oleh beberapa pabrik sebagai pemasok tetap ikan segar untuk ekspor.  Selama bertahun-tahun, Susi bolak balik Pangandaran-Jakarta untuk membawa ikan dagangannya. Waktu berjam-jam di dalam mobil, tak sekadar dimanfaatkannya untuk beristirahat, tetapi juga terus berpikir untuk mengembangkan usahanya hingga berhasil menemukan peluang bisnis baru yakni menjual kodok. Kodok hidup tak hanya laris di pasar Glodok, bahkan bisa diekspor ke Singapura dan Hong Kong. 

Dalam perjalanan Pangandaran-Jakarta pun, ia tak pernah lupa mampir ke sentra-sentra pengepul kodok yang terdapat di sepanjang jalan Cikampek hingga Karawang. Kodok-kodok itu kemudian dibawanya ke beberapa pasar di Jakarta. Tak heran bila di tempat-tempat itu, ia sempat mendapat julukan ‘Susi Kodok’!  Kemauan untuk terus maju dan menjadi yang terbaik membuat Susi jeli melihat peluang bisnis. Ia seakan tak pernah kehabisan akal untuk mengembangkan bisnis yang dibangunnya dari nol itu. 

Setelah sukses sebagai pemasok ikan, pada tahun 1996, Susi mendirikan pabrik pengolahan ikan dengan label Susi brand di bawah naungan PT ASI Pudjiastuti Marine Product. Demi kenyamanan para karyawannya, pabrik tersebut dibangun layaknya mall, penuh dengan keramik dan kaca, meski untuk itu ia harus menggelontorkan biaya investasi yang tak sedikit.  Hasil laut seperti kakap, ekor kuning, bawal, kerapu, marlin, hingga lobster merupakan produk andalan pabriknya. Dari sekian banyak produknya, lobster masih menjadi primadona. Permintaan pasar akan udang besar yang biasa hidup di perairan pantai berkarang ini terbilang cukup tinggi. Sayangnya, hasil tangkapan nelayan relatif sedikit. 

Bagi Susi, kendala itu justru merupakan sebuah tantangan. Demi berburu lobster, ia pun berkelana ke berbagai tempat pendaratan ikan. Nyaris semua pantai sepi di pesisir selatan Pulau Jawa ia telusuri.  Walau berusaha memenuhi permintaan pasar, Susi bukan tipe pengusaha serakah dan menghalalkan segala cara. Demi menjaga populasi dan kualitas lobster-lobster yang akan dijualnya, ikan itu harus ditangkap secara alami, tidak menggunakan cara yang merusak lingkungan, misalnya dengan membongkar karang atau menggunakan pestisida. Satu hal lagi, Susi juga tidak menerima lobster yang sedang bertelur. Kalau tak sengaja mendapatkan lobster yang sedang masa bertelur, ia meminta segera cepat dikembalikan ke laut.  

Ratusan tenaga kerja lokal dipekerjakan untuk menyiangi ikan. Limbah berupa tulang dan isi perut dipisahkan, dicacah atau digiling, untuk pakan itik di kebunnya, sementara bagian dagingnya dibuat filet atau produk turunan lainnya. Hanya dalam tempo setahun setelah ia mengekspor lobster beku, ragam jenis seafood beku dari pabrik Pangandaran itu diekspor ke Jepang dengan label Susi Brand.  Menembus pasar Jepang memang sebuah prestasi. Mengingat Jepang merupakan pangsa pasar ikan segar terbesar di Asia, yang menerapkan aturan ketat untuk produk yang masuk ke negaranya. Oleh karena itu, demi menjaga kualitas, pengolahan ikan di pabriknya dikerjakan sesuai standar internasional termasuk tidak memakai bahan pengawet kimia. Susi sadar, semakin murni ikan itu dari bahan pengawet, semakin banyak diburu penggemarnya. Pendinginnya pun ramah lingkungan karena menggunakan amoniak, bukan freon yang merusak ozon.  

Dalam mengembangkan usahanya, Susi juga menerapkan filosofi palugada (apa lu mau, gua ada). Sebisa mungkin ia berusaha memenuhi segala permintaan pemesan. Yang terpenting, ia tetap memegang prinsip, "Cari dan siapkan barang yang bagus, maka pembeli akan senang. Keuntungannya, harga jual bisa lebih bagus!" ungkapnya. 

Selain ikan dan kodok, Susi juga memasok sarang burung walet yang diambilnya dari para pemanen di gua-gua laut yang banyak terdapat di pesisir pantai selatan Pulau Jawa. Diversifikasi usaha pun terus dilakukan Susi. Misalnya dengan membuka restoran Hilmans di dekat pantai Pangandaran dengan spesialisasi menu ikan segar. Restoran yang berdiri tahun 1989 itu memanjakan calon pembelinya karena bisa memilih sendiri ikan segar yang diminatinya lalu para koki mengolahnya menjadi hidangan bercita rasa istimewa.  

Kesuksesan Susi sebagai pebisnis tak dibarengi dengan kesuksesannya di dalam kehidupan rumah tangga. Sebelum akhirnya hidup bahagia dengan suaminya saat ini, Christian von Strowberg, ia telah mengalami dua kali kegagalan perkawinan. Pernikahan pertamanya terjadi di tahun 1983 saat usianya masih belasan tahun dengan seorang teman sekampungnya dan membuahkan satu orang putra bernama Panji Hilmansyah. Panji kini telah menikah dan memiliki seorang anak Arman Hilmansyah. Sang cucu ini selalu menemani Susi ke mana pun ia pergi dan menyapanya dengan panggilan Uti (penggalan dari kata Mbah Puteri).  

Setelah bercerai dengan ayah Panji, Susi menikah dengan seorang pria asal Swiss. Dari perkawinan itu, Susi dikaruniai seorang putri bernama Nadine Pascale.  Kehidupan rumah tangga yang lebih langgeng baru dialaminya setelah dipinang Christian von Strowberg. Susi pertama kali bertemu dengan pria yang usianya lebih muda 9 tahun itu saat Christian berkunjung ke restoran seafood miliknya. Pria Jerman yang fasih berbahasa Indonesia itu bekerja sebagai engineer dan pilot di Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) di Bandung. Pernikahan yang telah membuahkan seorang anak bernama Alvi Xavier itu masih awet bertahan hingga saat ini. Christian pulalah yang mewujudkan impian Susi semasa kecil untuk memiliki pesawat terbang.  

Impian memiliki pesawat terbang kian kuat lantaran bisnis perikanannya yang kian berkembang tak hanya di Indonesia bahkan mulai merambah ke Asia dan Amerika. Setelah proposal pengajuan kreditnya berkali-kali ditolak bank, pada tahun 2004, Susi akhirnya bisa tersenyum setelah Bank Mandiri menggelontorkan dana sebesar 4,7 juta US dollar. Dengan dukungan Christian yang paham seluk-beluk kedirgantaraan, impiannya untuk memiliki pesawat terbang pun terwujud berupa sebuah Cessna Caravan buatan USA seharga Rp20 miliar. 

Pesawat berkapasitas 12 seats itu ia gunakan untuk mengangkut ikan dan lobster tangkapan nelayan di berbagai pantai Indonesia untuk selanjutnya diterbangkan ke pasar Jakarta. Sebagai penekun usaha hasil laut, ia memahami betul bahwa kadar kesegaran suatu hasil laut menentukan nilai jual. Misalnya, ikan atau udang yang sudah sampai di Jepang dalam waktu kurang dari 24 jam akan bisa dihargai dua kali lipat lebih mahal. Misalnya, ikan laut yang dihargai US$3/kg bisa dijual US$8/kg apabila diantar kurang dari 24 jam. 

Untuk bisa menjamin nilai fresh pasokannya, ia pun membangun armada pesawat kargo sendiri dengan jalur domestik dan internasional. Ia menamakan armada udaranya ini, Susi Air yang berada di bawah naungan PT ASI Pudjiastuti Aviation.  

Pada 26 Desember 2004, gempa tektonik yang berujung gelombang tsunami melanda Pulau Sumatera. Kerusakan yang amat parah membuat medan sulit ditembus. Aliran bantuan pun tersendat, makanan, tenda, obat-obatan menumpuk di Bandara Sultan Iskandar Muda, Banda Aceh. Namun dua hari setelah bencana, Susi didampingi suami berhasil mendaratkan Cessna-nya di Meulaboh dan langsung mendistribusikan bantuan kepada para korban yang berada di daerah terisolasi.  Dari peristiwa inilah, skenario bisnisnya berubah. 

Terlebih pasca tsunami, kinerja bisnis perikanannya terus merosot, omsetnya bahkan turun hingga Rp 10 miliar/bulan. Di sisi lain, ia melihat kebutuhan terhadap pesawat di Aceh begitu besar. Belakangan, pesawat yang tadinya hanya untuk mengangkut barang dagangan laut, dia coba sewakan kepada masyarakat yang ingin menumpang. Setelah dua minggu misi kemanusiaan selesai, pesawat tak bisa dibawa pulang. Hingga akhirnya pada 2005, ia mendatangkan satu pesawat lagi, juga jenis Cessna Caravan.  

Setahun kemudian, pesawat tersebut pindah ke Jayapura, sebagai bagian dari langkah pembukaan cabang Susi Air di sana. Tahun demi tahun armada pesawat terbang milik Susi pun terus bertambah. Selama kurun bulan Oktober-Desember 2007, ia berhasil membeli 6 pesawat (4 Cessna Caravan and 2 Pilatus Porter). 

Pada Juni 2009, Susi Air mengumumkan bahwa mereka telah memesan 30 pesawat Grand Caravan di Paris Air Show. Bulan berikutnya, Piaggio Avanti pertama Susi Air mulai digunakan. Sejak itu, Susi Air terus mengepakkan sayapnya dengan membuka kantor cabang di berbagai daerah di Tanah Air.  Sebanyak 15 pesawat melayani jasa carteran dan 7 rute penerbangan komuter antara lain, di Sumatera, dari Medan ke Simeuleu, Medan-Meulaboh, Medan-Aek Godang dan Medan-Blang Pidie. Lalu, di Kalimantan, Susie Air melayani rute Banjarmasin-Muara Teweh, Muara Teweh-Palangkaraya dan Balikpapan-Sebuku. 

Setelah bisnis maskapai penerbangan, tahun 2008 di bawah manajemen PT ASI Pudjiastuti Flying School, Susi mendirikan sekolah penerbang dengan nama Susi Flying School, dan bertindak sebagai direktur utamanya.  Kesuksesan Susi membangun kerajaan bisnis mendapat pengakuan dari berbagai kalangan. Setidaknya hal tersebut dapat dilihat dari sederet penghargaan yang diraihnya seperti Pelopor Wisata dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat, Young Entrepreneur of the Year dari Ernst and Young Indonesia, Primaniyarta Award for Best Small & Medium Enterprise Exporter dari Presiden Republik Indonesia, Inspiring Woman Award for Economics dari Metro TV, Ganesa Wdiya Jasa Adiutama dari ITB.  

Ibu tiga anak ini juga aktif di berbagai bidang antara lain sebagai aktivis lingkungan independen, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, serta Ketua Komisi Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah di KADIN. Susi juga dipercaya sebagai dosen tamu di ITB, IPB, dan UGM, serta pada program pendidikan di lingkungan BRI dan Telkom.  Impian masa kecilnya memang telah terwujud, namun kebahagiaan bukan datang dari puluhan pesawat yang berhasil dimilikinya melainkan ketika ia bisa memberikan kebahagiaan bagi orang lain. Saat pensiun nanti, Susi ingin mengikuti jejak neneknya, yakni mengabdikan dirinya penuh pada Tuhan, tinggal di masjid yang dibangunnya sendiri, dan membantu masyarakat sekitar. 

sumber http://sukses-kerja-usaha.blogspot.com/



Lihat juga :

 

1 comment: